Komunikasi empatik
adalah komunikasi yang menunjukkan adanya saling pengertian antara komunikator
dengan komunikan.
Komunikasi ini menciptakan interaksi yang membuat satu pihak
memahami sudut pandang pihak lainnya. Sebagai contoh, auditor meminta kerjasama
dari auditan berupa penyediaan data secara lengkap. Setelah berkomunikasi,
akhirnya auditan memahami kebutuhan auditor dan mengerti bahwa tanpa
bantuannya, maka auditor akan mengalami kesulitan dalam penyelesaian tugas.
Dalam kondisi ini, auditan telah berempati terhadap kebutuhan auditor.
Komunikasi empatik bisa
dipahami dari kata empati. Empati adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui
apa yang dialami orang lain pada saat tertentu, dari sudut pandang dan
perspektif orang lain tersebut. Jadi komunikasi empatik dapat menjadi sarana
untuk menjalin saling pengertian antara dua pihak. Berkaitan dengan audit,
komunikasi empatik dapat dijadikan sarana untuk menghapus salah persepsi
auditan atas tujuan audit. Auditan sering mempersepsikan pekerjaan audit
sebagai pekerjaan cari-cari kesalahan. Jika auditor berhasil mengembangkan
komunikasi empatik, maka diharapkan auditan dapat memahami bahwa tujuan utama
dari audit adalah agar auditan dapat menyelesaikan tanggung jawabnya secara lebih
efektif.
Agar komunikasi empatik
tercipta, maka komunikator harus memperlihatkan:
a. Ketertarikan terhadap sudut pandang
komunikan. Sikap ini akan mendorong komunikan untuk lebih terbuka.
b. Sikap sabar untuk tidak memotong
pembicaraan. Banyak informasi yang didapat jika komunikator bersabar untuk
memeroleh penjelasan detail dari sudut pandang komunikan. Jika informasi yang
diperoleh telah cukup dan komunikan hanya berputar-putar menjelaskan hal yang
sama, maka komunikator perlu menyampaikan kembali pengertian yang telah
didapatnya dan menarik perhatian komunikan pada masalah berikutnya.
c. Sikap tenang, meskipun menangkap ungkapan
emosi yang kuat. Beberapa sudut pandang bersifat sangat pribadi, sehingga saat
mengungkapkannya keterlibatan emosi tidak dapat dihindari. Sebagai contoh,
komunikan mengungkapkan kemarahannya saat menceritakan ketidaksetujuannya
terhadap suatu keputusan rapat.
d. Bersikap bebas prasangka, atau tidak
evaluatif, kecuali jika sangat diperlukan. Untuk dapat memahami sudut pandang
orang lain, kita hindari sikap evaluatif. Sikap evaluatif dapat membuat
komunikan menyeleksi hal-hal yang perlu disampaikan dan tidak, dengan
pertimbangan apakah sudut pandangnya akan diterima atau tidak, disetujui atau
tidak, oleh komunikator.
Jika ini terjadi, maka
kita tidak dapat mengerti sudut pandang komunikan dengan benar. Sikap evaluatif
diperlukan ketika komunikan mendesak komunikator untuk menilai pandangan
komunikan.
e. Sikap awas pada isyarat permintaan pilihan
atau saran. Sikap ini memperlihatkan adanya dukungan atau bantuan yang bisa
diharapkan komunikan dari komunikator. Pemberian dukungan dan bantuan akan
mengembangkan empati pada diri auditan, kesiapan untuk membalas dukungan dan
bantuan yang diterimanya.
f. Sikap penuh pengertian. Sebagai contoh,
komunikan mendesak untuk memperoleh persetujuan dari komunikator atas sudut
pandangnya. Komunikator tidak setuju. Komunikator cukup menyatakan bahwa dia
dapat mengerti sudut pandang tersebut, tidak perlu menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuannya.
Komentar
Posting Komentar